MENELUSURI JEJAK EKSISTENSI PANTAI GADING PURBA, WISATA KULINER YANG UNIK DI WONOGIRI
Wonogiri — Segarnya tumbuhan membuat udara di Pantai
Gading Purba, Kabupaten Wonogiri, tidak terasa gersang, walaupun siang hari. Angin
sepoi-sepoi dari perairan juga sesekali ikut meneduhkan hawa di sekitar lokasi tersebut.
Pantai
Gading Purba, wisata kuliner ini memanjakan para pengunjung dengan menikmati
panorama perairan yang indah. Pengunjung dapat duduk lesehan dengan menikmati
sejumlah menu makanan yang ditawarkan
di wisata yang berada di Desa Sendang, Kecamatan
Wonogiri, Kabupaten Wonogiri.
Sugiyanto (45) selaku pendiri Pantai
Gading Purba mengungkapkan bahwa tempat ini banyak menyimpan catatan sejarah
dan memiliki makna di setiap sudut-sudut tempatnya. Selain itu, bukan hal yang
mudah untuk mendirikan wisata kuliner tersebut. Dia mendirikannya pada saat masa
pandemi Covid-19.
Sebagai tambahan informasi,
Sugiyanto adalah seorang Dosen Ekonomi di Universitas Tunas
Pembangunan (UTP) Solo sekaligus petani ikan dengan budidaya keramba. Pantai Gading Purba
merupakan ekspansi dari usaha budidaya kerambanya.
Banjir Besar di Wonogiri
Sugiyanto bercerita
pernah terjadi banjir besar di Wonogiri pada tahun 1966. Dia memaparkan bahwa hulu sungai
Bengawan Solo itu berada di Kabupaten Wonogiri. Setiap kali hujan turun, sungai
tersebut meluapkan air yang tinggi sehingga mengakibatkan banjir. Puncak banjirnya berada pada tahun 1966 yang
menenggelamkan 13.000 rumah. Tidak sampai di situ, 70% Kota Solo pun ikut
terkena banjir besar tersebut.
Ada 67.000 jiwa yang terpaksa
meninggalkan kampung halamannya dan tidak bisa kembali lagi karena rumah mereka
sudah tidak ada. Mayoritas penduduk
di sana berpindah ke Pulau Sumatra. Saat itu, perpindahan penduduk dikenal
dengan istilah bedol deso.
“Salah satu rumahnya itu rumah
keluarga saya. Bapak saya memilih untuk tidak pindah ke Sumatra karena
mempunyai tanah di dekat pegunungan. Setelah kejadian itu, pemerintah
berinisiatif membangun bendungan atau waduk sekitar tahun 70-an dan
meresmikannya pada tahun 1982,” ujar bapak dua anak itu saat
diwawancarai, Minggu (9/6/2024).
Dia juga memberitahu fungsi dari
pembangunan Waduk Gajah Mungkur (WGM) itu.
“Fungsi utamanya sebagai pengendali
banjir atau flood control. Setiap
kali hujan, airnya ditampung di sini. Ketika musim kemarau tiba, air itu
dibuang. Kalau kemarau semakin memanjang, maka air di sini akan surut. Nanti
sisa-sisa kehidupan zaman dulu tuh akan terlihat, seperti pondasi rumah, sumur,
kuburan, dan sebagainya,” ungkap Sugiyanto.
Selain itu, fungsi lainnya adalah
irigasi atau pengairan ke sawah. Di ujung waduk, terdapat pintu air yang akan
dibuka untuk mengairi sawah-sawah di sekitarnya.
Kisah lain datang dari Tri Wahono
(47), pemberi sewa speedboat itu
menyatakan bahwa rumah keluarganya juga terkena dampak dari banjir besar itu.
“Saya belum lahir waktu itu.
Mendiang ayah dan mama saya tidak ikut pindah ke Sumatra karena nenek saya
tidak mau. Soalnya, belum jelas tempat dan kondisinya bagaimana di sana. Kami
hanya pindah rumah dari sini ke sekitar pegunungan,” ungkap Wahono saat
diwawancarai di tepi perairan Pantang Gading Purba.
Dia mengungkapkan bahwa ganti rugi
yang diterima oleh keluarganya dari pemerintah sebesar Rp15.000 sehingga untuk
membuat gubuk pun sulit.
Berdirinya Pantai Gading Purba
Pada tahun 2019 sampai 2020, dunia
sedang menghadapi masalah besar. Adanya wabah penyakit virus corona atau Covid-19 membuat segala aspek kehidupan berada pada kondisi yang
mengkhawatirkan, terutama perekonomian.
Hal tersebut juga dirasakan oleh
pendiri Pantai Gading Purba. Wisata kuliner ini didirikan pada pandemi Covid-19. Sebelumnya, dia hanya
melanjutkan usaha dari pemilik rumah makan. Tentu saja, prosesnya cukup
panjang.
Sugiyanto bercerita bahwa pada
awalnya rumah makan tersebut dibeli karena ditawari oleh pemilik sebelumnya
yang mengalami kendala sepi pembeli karena pandemi Covid-19. Sejak Agustus 2020, dia mengelola rumah makan Nila
Kencana karena memiliki motivasi untuk mengadakan mata pencaharian baru bagi
orang-orang di sekitarnya.
“90 persen orang-orang di sini tuh
berjualan di pariwisata, sedangkan wisata-wisata semuanya tutup semenjak
pandemi,” ungkapnya.
Tidak selancar yang dipikirkan,
usaha Sugiyanto hanya berjalan selama 3 bulan pada November 2020 karena terkendala tidak mampu membayar gaji
karyawan. Tidak patah semangat, dia berinisiatif membuat sebuah jalan
baru ke arah bawah dekat dengan waduk.
“Konsep awalnya itu tempat makan,
yaitu Nila Kencana. Kemudian, kami kembangkan menjadi lokasi wisata karena
letaknya yang berdekatan dengan genangan air Waduk Gajah Mungkur,” jelas
Sugiyanto.
Dahulu, tempat Pantai Gading Purba
itu pernah dijadikan tempat wisata yang bernama Pantai Gading. Namun,
direlokasi ke bagian utara waduk dan ditinggalkan sekitar 30 tahun. Sebab
tempat wisata itu tidak luas, sedangkan pengunjung semakin banyak.
Alhasil, kondisi baru tersebut
banyak mengundang daya tarik para pengunjung untuk mendatangi wisata kuliner ini dengan
menambahkan kata Purba dengan arti masa lalu. Hal itu karena terdapat bebatuan
pada zaman purba di sana.
Wisata ini bukanlah sebuah pantai
melainkan pemandangan dari bendungan Waduk Gajah Mungkur, Sugiyanto mengakui ini
adalah strategi marketing untuk menarik pengunjung datang
dengan menamainya Pantai Gading Purba.
Papan Nama di Setiap Saung Lesehan
Selain sejarah dan namanya yang
menarik, Pantai Gading Purba memiliki nuansa yang membuat orang-orang penasaran
di dalamnya. Hal ini bisa dilihat dari papan nama di setiap saung lesehan.
“Dulu, ada tempat selfie yang berkonsep daerah Papua di sebelah utara wisata kuliner ini. Seiring berjalannya waktu, rumah-rumah adat Papua itu rusak dimakan usia. Maka dari itu, untuk mengenangnya, saung lesehan itu diberi papan nama yang berkonsep Papua,” papar Rizal Wahyu Septiawan (23) selaku pengelola Pantai Gading Purba.
Setiap saung lesehan yang ada di Pantai Gading Purba memiliki nama-nama yang berkaitan dengan daerah di Papua, seperti Papua, Papua Baru, Papua Pohon, Papua Barat, Anak Papua, dan Papua Ujung.
Komentar
Posting Komentar