MENELUSURI JEJAK EKSISTENSI PANTAI GADING PURBA, WISATA KULINER YANG UNIK DI WONOGIRI

MENELUSURI JEJAK EKSISTENSI PANTAI GADING PURBA, WISATA KULINER YANG UNIK DI WONOGIRI
Suasana siang hari di Pantai Gading Purba, Kabupaten Wonogiri, Minggu (9/6/2024)
Foto: Muthiara ‘Arsy

Wonogiri — Segarnya tumbuhan membuat udara di Pantai Gading Purba, Kabupaten Wonogiri, tidak terasa gersang, walaupun siang hari. Angin sepoi-sepoi dari perairan juga sesekali ikut meneduhkan hawa di sekitar lokasi tersebut.

Pantai Gading Purba, wisata kuliner ini memanjakan para pengunjung dengan menikmati panorama perairan yang indah. Pengunjung dapat duduk lesehan dengan menikmati sejumlah menu makanan yang ditawarkan di wisata yang berada di Desa Sendang, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri.

Sugiyanto (45) selaku pendiri Pantai Gading Purba mengungkapkan bahwa tempat ini banyak menyimpan catatan sejarah dan memiliki makna di setiap sudut-sudut tempatnya. Selain itu, bukan hal yang mudah untuk mendirikan wisata kuliner tersebut. Dia mendirikannya pada saat masa pandemi Covid-19.

Sebagai tambahan informasi, Sugiyanto adalah seorang Dosen Ekonomi di Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Solo sekaligus petani ikan dengan budidaya keramba. Pantai Gading Purba merupakan ekspansi dari usaha budidaya kerambanya.

 

Banjir Besar di Wonogiri

Sugiyanto bercerita pernah terjadi banjir besar di Wonogiri pada tahun 1966. Dia memaparkan bahwa hulu sungai Bengawan Solo itu berada di Kabupaten Wonogiri. Setiap kali hujan turun, sungai tersebut meluapkan air yang tinggi sehingga mengakibatkan banjir. Puncak banjirnya berada pada tahun 1966 yang menenggelamkan 13.000 rumah. Tidak sampai di situ, 70% Kota Solo pun ikut terkena banjir besar tersebut.

Ada 67.000 jiwa yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya dan tidak bisa kembali lagi karena rumah mereka sudah tidak ada. Mayoritas penduduk di sana berpindah ke Pulau Sumatra. Saat itu, perpindahan penduduk dikenal dengan istilah bedol deso.

“Salah satu rumahnya itu rumah keluarga saya. Bapak saya memilih untuk tidak pindah ke Sumatra karena mempunyai tanah di dekat pegunungan. Setelah kejadian itu, pemerintah berinisiatif membangun bendungan atau waduk sekitar tahun 70-an dan meresmikannya pada tahun 1982,” ujar bapak dua anak itu saat diwawancarai, Minggu (9/6/2024).

Dia juga memberitahu fungsi dari pembangunan Waduk Gajah Mungkur (WGM) itu.

“Fungsi utamanya sebagai pengendali banjir atau flood control. Setiap kali hujan, airnya ditampung di sini. Ketika musim kemarau tiba, air itu dibuang. Kalau kemarau semakin memanjang, maka air di sini akan surut. Nanti sisa-sisa kehidupan zaman dulu tuh akan terlihat, seperti pondasi rumah, sumur, kuburan, dan sebagainya,” ungkap Sugiyanto.

Selain itu, fungsi lainnya adalah irigasi atau pengairan ke sawah. Di ujung waduk, terdapat pintu air yang akan dibuka untuk mengairi sawah-sawah di sekitarnya.

Tri Wahono, pemberi sewa speedboat itu merupakan salah satu rumah korban yang terdampak banjir, Wonogiri, Minggu (9/6/2024)
Foto: Muthiara ‘Arsy

Kisah lain datang dari Tri Wahono (47), pemberi sewa speedboat itu menyatakan bahwa rumah keluarganya juga terkena dampak dari banjir besar itu.

“Saya belum lahir waktu itu. Mendiang ayah dan mama saya tidak ikut pindah ke Sumatra karena nenek saya tidak mau. Soalnya, belum jelas tempat dan kondisinya bagaimana di sana. Kami hanya pindah rumah dari sini ke sekitar pegunungan,” ungkap Wahono saat diwawancarai di tepi perairan Pantang Gading Purba.

Dia mengungkapkan bahwa ganti rugi yang diterima oleh keluarganya dari pemerintah sebesar Rp15.000 sehingga untuk membuat gubuk pun sulit.

 

Berdirinya Pantai Gading Purba

Pada tahun 2019 sampai 2020, dunia sedang menghadapi masalah besar. Adanya wabah penyakit virus corona atau Covid-19 membuat segala aspek kehidupan berada pada kondisi yang mengkhawatirkan, terutama perekonomian.

Hal tersebut juga dirasakan oleh pendiri Pantai Gading Purba. Wisata kuliner ini didirikan pada pandemi Covid-19. Sebelumnya, dia hanya melanjutkan usaha dari pemilik rumah makan. Tentu saja, prosesnya cukup panjang.

Sugiyanto bercerita bahwa pada awalnya rumah makan tersebut dibeli karena ditawari oleh pemilik sebelumnya yang mengalami kendala sepi pembeli karena pandemi Covid-19. Sejak Agustus 2020, dia mengelola rumah makan Nila Kencana karena memiliki motivasi untuk mengadakan mata pencaharian baru bagi orang-orang di sekitarnya.

90 persen orang-orang di sini tuh berjualan di pariwisata, sedangkan wisata-wisata semuanya tutup semenjak pandemi,” ungkapnya.

Tidak selancar yang dipikirkan, usaha Sugiyanto hanya berjalan selama 3 bulan pada November 2020 karena terkendala tidak mampu membayar gaji karyawan. Tidak patah semangat, dia berinisiatif membuat sebuah jalan baru ke arah bawah dekat dengan waduk.

“Konsep awalnya itu tempat makan, yaitu Nila Kencana. Kemudian, kami kembangkan menjadi lokasi wisata karena letaknya yang berdekatan dengan genangan air Waduk Gajah Mungkur,” jelas Sugiyanto.

Dahulu, tempat Pantai Gading Purba itu pernah dijadikan tempat wisata yang bernama Pantai Gading. Namun, direlokasi ke bagian utara waduk dan ditinggalkan sekitar 30 tahun. Sebab tempat wisata itu tidak luas, sedangkan pengunjung semakin banyak.

Alhasil, kondisi baru tersebut banyak mengundang daya tarik para pengunjung untuk mendatangi wisata kuliner ini dengan menambahkan kata Purba dengan arti masa lalu. Hal itu karena terdapat bebatuan pada zaman purba di sana.

Wisata ini bukanlah sebuah pantai melainkan pemandangan dari bendungan Waduk Gajah Mungkur, Sugiyanto mengakui ini adalah strategi marketing untuk menarik pengunjung datang dengan menamainya Pantai Gading Purba.

 

Papan Nama di Setiap Saung Lesehan

Papan nama dengan konsep daerah Papua pada saung lesehan di Pantai Gading Purba, Minggu (9/6/2024)
Foto: Muthiara ‘Arsy

Selain sejarah dan namanya yang menarik, Pantai Gading Purba memiliki nuansa yang membuat orang-orang penasaran di dalamnya. Hal ini bisa dilihat dari papan nama di setiap saung lesehan.

“Dulu, ada tempat selfie yang berkonsep daerah Papua di sebelah utara wisata kuliner ini. Seiring berjalannya waktu, rumah-rumah adat Papua itu rusak dimakan usia. Maka dari itu, untuk mengenangnya, saung lesehan itu diberi papan nama yang berkonsep Papua,” papar Rizal Wahyu Septiawan (23) selaku pengelola Pantai Gading Purba.

Setiap saung lesehan yang ada di Pantai Gading Purba memiliki nama-nama yang berkaitan dengan daerah di Papua, seperti Papua, Papua Baru, Papua Pohon, Papua Barat, Anak Papua, dan Papua Ujung.

Komentar

Postingan Populer