KISAH PARA PENCARI NAFKAH DI MALIOBORO

 

KISAH PARA PENCARI NAFKAH DI MALIOBORO

Titin Sumarni, penjual capcay di Malioboro, Kota Yogyakarta, Jumat (24/5/2024)
Foto: Muthiara ‘Arsy

Yogyakarta — Malioboro, jantung Kota Yogyakarta, tak cuma jadi jujugan bagi wisatawan, tetapi juga bagi mereka yang mencari nafkah sejak puluhan tahun lalu. Dengan menelusuri kisah mereka, terdapat hal-hal yang menarik untuk direkam dan diabadikan.

Titin Sumarni (55), penjual capcay mengaku sudah berjualan selama 10 tahun untuk membantu sang suami dan menghidupi 9 anaknya. Setahun yang lalu, sang suami mengalami stroke sampai setengah badannya tidak dapat berfungsi lagi. Sebelumnya, dia adalah ibu rumah tangga. Sementara itu, suaminya adalah tukang becak. Mereka tinggal di Jalan Gampingan, Kabupaten Sleman.

Tubuh yang mulai ringkih itu menggendong bakul dagangan dari pukul 11.00 sampai 20.00 WIB. Capcay yang dijual seharga Rp10.000 per bungkus dengan penghasilan per hari sekitar Rp400.000—Rp500.000.

“Saya berangkat dari rumah ke sini pakai becak dengan tarif Rp25.000, sedangkan pulangnya jalan kaki,” tuturnya saat diwawancarai pada Jumat (24/5/2024).

Tanpa kenal lelah, wanita itu tetap berjalan kaki di Malioboro, meski beberapa kali nyaris kehilangan penghasilan satu-satunya karena penertiban penjual demi penataan tempat. Tuntutan hidup membuatnya mengayuh langkah di antara himpitan lelah dan susah.

“Dagangan saya pernah diobrak-abrik dan hampir disita oleh Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja). Kalau nggak cepat-cepat pergi, nanti dagangan saya dibawa ke kantor. Terus, ditahan dan nggak bisa diambil,” ungkapnya.

Belakangan, 5 dari 9 anaknya sudah menikah, sedangkan 4 anaknya yang lain masih tinggal bersama Titin dan suaminya. Enam anak di antaranya langsung bekerja tanpa merasakan pendidikan di perguruan tinggi.

“Yang masih sekolah tuh ada tiga, sedangkan anak keenam tuh udah kerja. Cuman, ya, gitu. Uangnya dipakai buat senang-senang sendiri, ditambah udah kenal wanita. Kalau ada keluhan dari kami, paling dia ngasih Rp100.000,” ujarnya.

Wiji Suratman, penyanyi jalanan di Malioboro, Kota Yogyakarta, Jumat (24/5/2024)
Foto: Muthiara ‘Arsy

Kisah lain datang dari Wiji Suratman (47). Dia merupakan seorang disabilitas yang mencari nafkah dengan menjadi penyanyi jalanan. Sebelumnya, dia membuka jasa pijat. Kedua pekerjaan itu dijalankan untuk memenuhi kebutuhan Wiji dan keluarganya.

Pendidikan terakhir Wiji adalah Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB). Istri dan kedua anaknya tinggal di Kabupaten Sukoharjo. Sementara itu, dia indekos seharga Rp350.000 per bulan di daerah sekitar Jembatan Layang Janti, Kabupaten Sleman.

“Sekitar satu tahun saya jadi penyanyi jalanan sebagai hiburan karena jarang kedatangan pasien buat sekarang. Kalau ada pasien, baru saya pijat. Jadi tukang pijat ini sudah saya lakukan sejak tahun 1997,” ungkapnya.

Untuk jasa pijat, Wiji mendapat satu sampai dua pasien per hari dengan tarif Rp60.000 per pasien di daerah tempat kosnya. Sementara itu, menjadi penyanyi jalanan, dia mendapat Rp300.000—Rp350.000 per hari dari pukul 09.00 sampai 13.00 WIB di Malioboro.

Penyebab penglihatan Wiji terganggu itu karena tidak mendapat pertolongan cepat saat panas demam. Biaya pengobatan menjadi kendala saat itu. Kejadian ini dialaminya saat masih berusia 4 tahun. Namun, itu tidak membuat semangatnya memudar untuk menjalani kehidupan. Sejauh ini, penyanyi jalanan itu dikelilingi orang-orang baik.

“Alhamdulillah, saya nggak diremehin sama orang lain, justru mereka baik kalau sama orang yang disabilitas. Kalau saya kesasar, saya dibantu untuk pulang ke kosan. Kalau nggak sengaja nabrak orang atau sesuatu, nggak dimarahin karena mereka maklum dengan kondisi saya,” paparnya.

Pria yang membawa speaker portable di depan tasnya itu menggunakan tongkat untuk menelusuri jalan pulang dengan mengingat-ngingat beberapa gang yang menjadi patokan. Untuk melepas rindu dengan keluarganya, dia pulang ke Sukoharjo sebulan sekali menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL).

Ada secercah harapan darinya untuk bisa menyekolahkan kedua anaknya sampai perguruan tinggi sehingga anak-anaknya bisa pintar.

“Cita-cita saya tuh pengin anak-anak saya pintar. Saya ingin mereka bisa kuliah,” harapnya.

Yadi, pedagang asongan di Malioboro, Kota Yogyakarta, Jumat (24/5/2024)
Foto: Muthiara ‘Arsy

Ada juga kehidupan seorang pedagang asongan bernama Yadi (54) yang sudah berjualan di pelataran pintu masuk Plaza Malioboro itu sejak tahun 1988.

Dia mulai berjualan dari pukul 09.00 sampai 22.00 WIB dengan penghasilan yang didapatkan sebesar Rp40.000—Rp50.000 per hari.  Barang dagangan yang Yadi jual tersebut tidak bersumber atau mengambil dari orang lain, tetapi belanja sendiri. Saat ini, dia merasakan harga barang-barang itu mahal.

“Saya beli sendiri untuk jualan ini. Modal untuk tisu dan rokok itu sekitar Rp1 juta dalam satu bulan. Dulu tuh kalau modal segitu barangnya banyak, sedangkan sekarang sedikit karena apa-apa mahal. Semua harganya naik,” keluhnya saat diwawancarai di dekat pintu masuk Plaza Malioboro.

Yadi berasal dari Kabupaten Bantul. Istrinya tinggal di sana. Sementara itu, dia menyewa kos seharga Rp300.000 per bulan di Jalan Pingit, Kota Yogyakarta. Keduanya dikaruniai seorang anak laki-laki yang kini sudah selesai menempuh pendidikan SMK. Pria itu mengungkapkan bahwa anaknya tidak mau melanjutkan untuk kuliah sehingga langsung bekerja.

Sepulang dari berjualan, dia menyempatkan diri untuk mencatat barang dagangan yang sudah terjual supaya memudahkan saat mengisi stok kembali. Selain itu, Yadi pulang ke Bantul setiap 15 hari sekali atau sebulan sekali.

Pedagang asongan itu mengungkapkan alasan mengapa dia memilih berjualan. “Kalau jualan tuh waktunya bebas, sedangkan ngikut orang tuh terikat oleh jam kerja dan nggak bisa bantu-bantu istri di rumah,” tuturnya.

Komentar

Postingan Populer