[Artikel Opini] Perpustakaan Sebagai Lentera Literasi
Perpustakaan Sebagai Lentera Literasi
Ditulis Oleh Muthiara ‘Arsy
(Sumber:lustauflesen.de)
Buku merupakan sumbernya beragam ilmu pengetahuan. Setiap orang tentu tahu dan memahami hal ini. Buku bisa berisi pengetahuan, perspektif, dan pengalaman dari orang yang mungkin sudah bertahun-tahun mendalami topik tersebut. Ketika kita menghadapi suatu masalah, mungkin untuk pertama kalinya, buku bisa menjadi bantuan yang luar biasa. Juga, kegiatan membaca buku itu penting dijadikan sebagai kebiasaan positif dan bermanfaat oleh setiap orang.
Meninjau sesuatu yang lebih spesifik dalam hal ini, ada permasalahan yang sudah bukan rahasia umum lagi bila literasi warga Indonesia itu rendah. Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Sementara UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,0001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca. Hasil riset berbeda bertajuk World's Most Literate Nations Ranked yang dilakukan Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca.
Salah satu faktornya adalah kebanyakan buku-buku yang ada di perpustakaan Indonesia tidak up to date atau masih keluaran lama. Masih banyak buku-buku berhalaman tebal yang membuat orang-orang malas menyentuh buku. Padahal, buku merupakan sumbernya beragam ilmu pengetahuan. Setiap orang tentu tahu dan memahami hal ini. Maka, tak heran bila ada pepatah mengatakan “buku adalah jendela dunia”. Maksudnya, tanpa harus menginjakkan kaki ke suatu tempat, kita sudah bisa mengetahui bagaimana tempat itu sendiri dengan membaca. Melalui buku, wawasan keilmuan seseorang menjadi semakin luas.
Seperti pada perpustakaan sekolah, yang sedikit sekali yang berkunjung. Mungkin hanya satu sampai tiga orang yang mengunjungi perpustakaan. Kadang-kadang, tidak ada sama sekali yang datang. Sebab siswa-siswi lebih memilih pergi ke kantin atau main bola di lapangan untuk menghabiskan waktu istirahat mereka daripada ke perpustakaan. Alasan mereka tidak mau ke perpustakaan karena rak-rak buku hanya berisi buku paket atau buku pelajaran saja. Walau ada buku lain, namun tidak up to date. Datang ke perpustakaan pun apabila disuruh pinjam dan mengembalikan buku paket pelajaran, atau ada tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk menganalisis novel dan cerpen.
Selain faktor dari buku yang tidak up to date, faktor lainnya adalah kurang aktifnya pustakawan untuk membuat perpustakaan menjadi hidup. Sebab perpustakaan menjadi jembatan menuju penguasaan ilmu pengetahuan yang bisa memberikan kontribusi penting bagi terbukanya akses informasi, serta menyediakan data yang akurat bagi proses pengambilan sumber-sumber referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Sebenarnya orang-orang Indonesia bukan malas atau minat baca yang rendah, tetapi mesti ada pelopor untuk menciptakan suasana literasi yang baik. Ukuran minat baca buku masyarakat itu bukan soal orang sedikit datang ke perpustakaan atau sedikit membeli buku, melainkan ukuran minat orang pada perpustakaan yang dikelola rendah. Pertanyaannya, sudah seasyik apa program bapak ibu buat selama ini di perpustakaan? Sudah seserius apa bapak ibu merangkul siswa-siswi untuk datang ke perpustakaan? Jangan hanya menyudutkan siswa-siswi, tapi gagap dalam program yang dibuat.
Bisa dengan membuat pohon GEULIS di dinding luar perpustakaan dengan ditempeli daun-daun dari kertas dan pojok baca di setiap kelas yang ditempeli menggunakan sticky notes berbentuk buah-buahan. Hal yang mesti ditulis adalah nama pembaca, judul buku, dan ringkasan buku yang sudah dibaca sampai selesai. Bisa juga disediakan notes kecil untuk menuliskan kata atau kalimat penting dalam buku.
Dengan membaca, dapat menambah perbendaharaan kata setiap kali saya menulis dan berbicara. Karena untuk bisa menulis yang bagus dan berbicara yang baik itu perlu banyak membaca, serta bila ditekuni dengan baik adalah investasi terbesar dalam kehidupan. Mereka bisa saling menanyakan buku mana yang seru, memberi interpretasi, dan mengulas balik isi buku yang sudah dibaca.
Bukan hanya dengan mengatakan, “ayo baca buku!” melainkan dengan menunjukkan sikap. Karena lama-kelamaan, kebiasaan itu akan diikuti. Semua saling bergantungan dan hal itu berawal dari diri sendiri—adanya kesadaran dan semangat untuk bergerak. Seperti pustakawan yang membuat kreasi, peserta didik yang menggerakkan, dan sekolah yang memfasilitasi. Sudah seharusnya, perpustakaan itu sebagai wadah untuk menciptakan suasana literasi yang baik dan nyaman.
Komentar
Posting Komentar