[Novel Sejarah] Pembatas Dua Dunia karya Muthiara 'Arsy
Pembatas Dua Dunia
Karya : Muthiara ‘Arsy
Mambang kuning menghiasi cakrawala. Hawa terasa tak sedap untuk dihirup, tetapi keadaan kafe dan restoran tetap ramai dikunjungi berbagai kalangan seperti hari-hari sebelumnya. Pada waktu awal menjelang tengah malam, tiba-tiba suara mengerikan yang memekakkan telinga terdengar nyata, dua kafe dan satu restoran menjadi sasaran ledakan bom. Kepulan asap membumbung tinggi. Bahan peledak yang digunakan adalah TNT, biji seperti gotri yang mengandung daya ledak tinggi. Ini adalah yang kedua, terjadi pada tanggal 1 Oktober 2005. Sementara yang pertama terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002. Peristiwa itu cukup mengguncang atma. Takut, ngeri, merasa terancam, tertekan, tapi segalanya kemudian menjadi biasa. Setelah itu, terdengar suara-suara yang bercerita mengenai bom dan terorisme, seakan-akan semuanya itu memang bagian dari aksesoris kehidupan politik.
Walau dampaknya tak sebesar yang pertama, tetapi berdampak pada usaha yang sudah berada di atas puncak oleh seorang suami yang sedang merantau bersama sang istri. Pria itu adalah seorang bos kain. Keadaan sebelumnya, kehidupan sepasang kekasih yang akan menjadi keluarga kecil itu dipenuhi kedamaian. Usaha yang dibangun oleh kepala keluarga cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, setelah kejadian itu, semua berbeda. Akses untuk memasuki kantor lembaga dibatasi dan keadaan ekonomi tiba-tiba menurun.
Dua hari kemudian, tepatnya pada hari Senin, tanggal 3 Oktober 2005, lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama Muthiara ‘Arsy. Anak pertama dari Asep Sudrajat dan Lita Nurhayati. Dia sempat ditinggalkan di bidan beberapa hari, karena ibunya dibawa ke rumah sakit untuk penanganan retained placenta. Dan alhamdulillah, Ibu diberi kelancaran dalam proses pengeluaran tembuni dari rahimnya. Bayi itu tumbuh dengan aktif, mengacak barang-barang di sekitarnya, menghambur-hamburkan beras layaknya salju, dan merangkak dengan riang. Namun, kalau boleh jujur, kehadirannya bisa dibilang kurang baik karena berada di tengah keadaan yang riuh dan perekonomian keluarga yang sedang tidak baik.
Pada pertengahan tahun berikutnya, mereka pindah ke daerah yang dikenal Kota Tahu. Sebab, ada panggilan dari kakak perempuannya Lita untuk tinggal di rumah yang baru dibelinya bersama Bapak. Saat itu, usia Muthiara belum genap satu tahun, tepatnya delapan bulan lebih lima belas hari.
Hari demi hari terlewati, anak perempuan itu tumbuh dengan baik, periang, dan cukup aktif. Teriakan dan tawa kecilnya mendominasi rumah itu. Anak perempuan yang cukup bawel dan banyak memberi pertanyaan mengenai benda-benda di sekeliling sampai bibinya kewalahan menjawab semua itu. Dia itu easy going, bila ada bibi atau omnya yang mengajak jalan-jalan, dia mau ikut. Kemudian, Dora adalah kartun kesukaan Muthiara sampai rambutnya dipotong pendek dan berponi, lalu berkhayal menjadi seorang Cinderella sampai-sampai dibelikan sepasang sepatu kaca dengan gaun putih pada hari ulang tahunnya yang ketiga oleh ibunya. Selain itu juga, dia senang menulis, membaca tulisan pada papan reklame, dan membuat shapes di buku gambar.
Di balik sisi terang yang tampak periang, ternyata ada hal yang menjadi permasalahannya hingga sekarang. Dari kecil, dia tidak memiliki teman. Tidak mempunyai teman kecil seperti yang diceritakan orang lain atau di film. Tidak pernah bermain dengan anak tetangga dan cenderung menghabiskan waktu di rumah. Lantas, bagaimana interaksi dengan sepupunya? Tempat tinggal mereka cukup jauh. Kalaupun bertemu, jarang sekali mengobrol. Maka dari itu, dia senang sendirian sampai sekarang. Orang lain sering bertanya-tanya dengan sikapnya yang sering berjalan sendirian ke toilet, kantin, perpustakaan, dan masjid.
“Sendiri aja?”
“Naha sendiri?”
“Muthi meni sendirian waé.”
Sebenarnya, dia bisa saja berteman, tapi dia yang memilih untuk sendirian. Dia bisa mengeluarkan banyak kata sampai excited bila lawan bicaranya hanya satu sampai empat orang, tapi kalau lebih dari itu, dia kehabisan energi sehingga lebih memilih untuk diam. Selain sering menyendiri, dia juga sering menghilang tiba-tiba. Maksudnya, kalau pergi kemana-mana tidak pernah bilang, langsung pergi begitu saja. Sehingga ada satu temannya yang memberi julukan “Tukang Ngaleungit”.
Bu Tantri, guru Bahasa Indonesia itu memberi tugas akhir semester, yakni musikalisasi puisi. Hal yang paling Muthiara bikin malas adalah tugas ini mesti berkelompok. Tugas tersebut mesti berbentuk video. Karena keadaan saat itu—adanya Covid-19, masih tidak memungkinkan untuk tampil di kelas seperti biasa sehingga belajar hanya setengah hari. Juga, di grup kelas tidak ada yang membicarakan masalah ini, tapi tahu-tahu sudah dapat kelompok. Belum ada teman yang benar-benar dia kenal, hanya sekadar tersenyum canggung saja. Maka, dia mengayunkan kaki menuju ruang guru untuk berbicara dengan Bu Tantri.
“Bu, maaf mengganggu waktunya. Saya ingin berbicara dengan Ibu mengenai beberapa hal.” Muthiara memberi jeda pada ucapannya dengan sedikit menarik napas. “Untuk tugas kelompok musikalisasi puisi, saya ingin menggantinya dengan tugas mandiri. Alasannya, saya nggak bisa nyanyi, karena suara saya sumbang. Bukan bermaksud nggak mau mengerjakan tugas, tapi ketidakmampuan saya untuk mengerjakan tugas inilah yang menjadi penghambat saya. Kalaupun berkelompok, saya nggak mau jadi beban. Maka dari itu, apa saya boleh meminta tugas mandiri sebagai gantinya? Kalau menulis puisi, insyaallah, bisa.”
Menulis puisi? Hahaha.
Kalau disuruh memilih menulis novel atau puisi, tentu saja dia memilih untuk menulis novel. Mengapa? Karena puisi begitu terikat dengan irama, matra, rima, terdapat majas, dan hal-hal lainnya. Keterikatan itu membuatnya berpikir lama untuk memilih kata-kata dan memakan banyak waktu yang menyebabkan kehilangan semangat untuk menuliskan idenya. Tapi, karena ini untuk nilai, maka dia terpaksa untuk bisa. To be honest, Muthiara juga bukan murid yang bisa dibilang pintar, tetapi dia selalu mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Dia berusaha untuk tidak menyusahkan banyak orang dan tidak menjadi beban bagi orang lain.
Bu Tantri terdiam beberapa saat, mencerna ucapan remaja perempuan itu. “Dalam kelompok banyak pekerjaan yang bisa dibagi-bagi yang menjadi garapan. Kamu bisanya apa?” Jeda. “Menulis puisi, silakan. Yang lain yang menyanyikannya.”
“T-tapi, Bu…” Muthiara menelan saliva sejenak sebelum akhirnya melanjutkan kalimat, “… saya terlalu malu dan takut kalau berkelompok, takut nggak sesuai sama apa yang lain mau.”
“Berkelompok merupakan pembelajaran bahwa kita bukan makhluk asosial dan harus bisa bekerja dengan tim,” ucap Bu Tantri.
“Kadang, Bu, nggak semua orang bisa menghargai perbedaan. Karena kalimat ‘ngikut ajaʼ atau diam lebih baik daripada buka suara.” Gadis itu meyakinkan Bu Tantri untuk memberinya tugas mandiri. “Boleh kan, Bu, kalau saya meminta tugas mandiri sebagai gantinya?”
Usahanya tidak membuahkan hasil. Pertanyaan itu tidak begitu dihiraukan. Kalau boleh jujur, dia sangat malas sekali dengan tugas kelompok.
Baginya, konsep kerja kelompok itu tidak efektif. Kenapa dia punya pemikiran seperti itu? Kalau nggak punya partner yang cocok bisa terjadi konflik, maka prakteknya nggak seideal tujuannya. Awalnya, memang berniat mengerjakan sama-sama dan membagi tugas, tapi kalau yang satu semangat dan yang lainnya malas malah jadi beban. Bisa juga terjadi saling melempar tanggung jawab, dan pada akhirnya satu orang harus mau mengerjakan semuanya. Hal-hal semacam itu hanya membuang waktu dengan percuma. Kalau terpaksa, itʼs okay. Tapi kalau bisa memilih, lebih baik mengerjakan semuanya sendirian saja. Asalkan tidak merugikan orang lain, tidak masalah, bukan?
Setelah mendapat sikap Bu Tantri yang tidak bisa didebat, dia terpaksa berkelompok dengan jumlah anggota sebanyak tiga orang. Mereka itu kumpulan orang yang bisa dibilang pasif, lalu mengumpulkan tugas itu terakhir, karena ada satu anggota yang sudah mudik duluan ke kampungnya. Jujur saja, ini sangat menguji kesabaran Muthiara. Kalau saja ini tugas mandiri, sudah pasti dia selesaikan dengan cepat. Lantas, dia terpaksa untuk menunggu kepulangannya agar bisa take video bersama. Cukup menyebalkan, bukan?
…
“Ini iPad keluaran terbaru, ya? Keren banget!”
“Males lama-lama di sini karena ketemu orang yang obrolannya beda level sama aku.”
“Kenapa kamu ikutan ketawa? Kamu tuh nggak diajak!”
“Apa sih kamu. Nggak jelas deh.”
“Dih. Dia mah gitu, ya, orangnya. Kayak alarm aja, ngingetin guru tentang tugas mulu.”
“Biasalah. Cari perhatian.”
Jujur saja, berada di ruangan ini sangat gerah, ingin cepat-cepat bangkit dari bangku, lalu meninggalkan kelas yang penuh kemunafikan, mengelompokkan diri dengan orang-orang yang sefrekuensi, dan gengsi gila-gilaan. Muak sekali, bukan?
Kehadiran guru PPKn—Bu Ratih—membius total kebisingan. Guru yang tampak ramah, murah senyum, jarang memberi tugas, tapi memiliki tatapan intimidasi bila tugas yang diberikannya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Sekalinya memberi tugas, pasti yang susah dan menguras otak. Hari ini, beliau memberi tugas kelompok berupa menganalisis sebuah kasus, dengan pembagian anggota kelompok yang dipilih olehnya.
Dan, ya … Muthiara menghela napas berat karena malas satu kelompok dengan orang emosian seperti Lina. Dia melihat Lina yang memandangnya dengan tatapan tidak suka, lalu berjalan bersama teman satu sirkelnya ke arah meja guru seperti sedang mendiskusikan sesuatu.
“Apa alasannya?” tanya Bu Ratih begitu Lina memintanya untuk tidak satu kelompok dengan Muthiara.
“Muthiara itu susah buat diajak bekerja sama.”
“Sebelumnya, kalian pernah mengajak Muthiara untuk satu kelompok?”
Tidak ada tanggapan.
“Kenapa diam?”
“Belum pernah, Bu.”
Bu Ratih menyunggingkan senyum. “Nah, kan…” Jeda. “Belum pernah mengajak, tapi sudah beranggapan kalau Muthiara itu egois dan tidak mau bekerja sama. Tahu dari mana itu?”
“Ya…” Lina tampak berpikir untuk mencari jawaban yang tepat, “… dari dia yang selalu sendirian dan sikapnya yang kelihatan nggak mau didekati.”
“Mungkin saja dia takut?” dugaan Bu Ratih. “Melawan rasa takut untuk berkomunikasi dengan orang lain itu tidak mudah untuk beberapa orang. Ada yang punya trauma, ada juga yang emang susah berbaur. Jadi sebelum mikir aneh-aneh, coba diajakin dulu.”
“Tapi, Bu…” Dia berusaha mempertahankan keinginannya, “… sebenarnya kita tuh terbuka sama orang-orang. Cuman sikap dia tuh kayak nggak mau ditemenin. Jutek gitu. Jadi males buat ngajakinnya. Setiap ada kelompok juga, dia tuh cuman diem. Nggak mau bergerak buat cari teman kelompok.”
Bu Ratih menipiskan bibir. “Mungkin aura kamu dan yang lainnya yang bikin orang segan mau berteman dengan kalian. Punya aura yang intimidatif dan dianggap suka merendahkan orang lain. Ditambah, kalian tidak berbaur dengan yang lain. Orang jadi merasa kalau kalian tidak mau berteman dengan yang lain karena barengnya sama itu-itu saja. Kalau kalian mau memecahkan stigma itu, ya kalian duluan yang melangkah. Menurunkan ego itu penting,” tutur beliau. “Kunci utamanya adalah komunikasi. Diem-dieman seperti ini kan tidak baik.”
Keputusan Bu Ratih tidak bisa diprotes sama sekali. Mereka diminta untuk kembali duduk di bangku masing-masing. Beliau keluar kelas ketika bel berbunyi sebagai tanda bahwa jam pelajaran sudah habis.
Lina menarik napas panjang dan membuangnya, lalu berdiri dari tempat duduk, melangkahkan kaki menghampiri Muthiara. Lantas duduk di bangku depannya.
“Halo, Muthi! Buat tugas PPKn, kamu satu kelompok kan sama aku?”
Muthiara tak menggubris. Terfokus pada materi pelajaran yang sedang ditulis di buku.
“Kalau ada yang ngajak bicara tuh nengok, atau bales gitu, bukan dicuekin.” Lima berusaha menahan rasa kesal.
Bola mata gadis itu bergulir dengan malas. “Ada apa?”
“Ya … pengen ngobrol gitu sama kamu.”
“Nggak usah sok ramah, kamu bukan temen aku.”
Seketika Lina mengerutkan dahi. “Ramah tuh bukan berarti mau jadi temen kamu, tapi lebih ke … aku tuh orangnya nggak sombong. Paham?”
Diabaikan. Muthiara memasangkan earphone pada telinganya.
Tak mampu menahan rasa kesal, Lina menarik kabel earphone tersebut. “Aku lagi ngomong sama kamu ya!”
“Tapi aku nggak mau ngomong sama kamu. Paham?”
Lina merotasikan bola mata malas. “Sebenarnya, aku juga males ngobrol sama kamu, bahkan nggak mau sekelompok sama kamu. Tapi, karena ini ditentuin sama Bu Ratih, jadi aku terpaksa buat nerima. Aku cuman mau ngasih tau kalau lusa datang ke rumah aku buat kerja kelompok.”
“Aku nggak bisa.”
“Nggak usah sok sibuk deh.”
“Bukan sok sibuk, tapi nggak mau.”
“Ini kan tugas kelompok. Artinya, kamu udah punya tanggung jawab buat tugas ini.”
“Kamu sama anggota lain aja yang ngerjain tugas ini, aku ngerjain sendiri.”
“Tapi, tugas ini harus kerja kelompok dan nggak bisa diprotes, Muthi.”
“Oh, ya?”
“Kamu mau kalau Bu Ratih marah?”
“Aku nggak peduli.”
“Cuman sekali ini aja. Masa nggak bisa, sih?”
“Aku tetep nggak mau.”
“Kamu egois!”
“Itu menurut kamu.”
Murid-murid yang ada di sana langsung menoleh karena keributan mereka.
“Kamu batu banget sih!” Lina berdiri sambil menggebrak meja, menimbulkan suara yang memekakkan telinga. “Ini tugas kelompok. Bu Ratih bisa marah sama kita kalau ada satu orang yang nggak masuk kelompok. Yang bermasalah emang kamu, tapi yang kena bisa satu kelas karena dianggap ngucilin kamu, padahal kamu yang milih buat jadi orang yang anti sosial. Apa kamu nggak mikirin kita? Kamu yang egois, tapi kita semua yang kena akibatnya!”
Muthiara menghembuskan napas malas, kemudian berdiri sambil melipat kedua tangan di depan dada. “Udah ngomongnya?”
“Karakter kamu yang kayak gini yang bikin banyak orang nggak mau temenan sama kamu! Kamu sadar, nggak?!”
“Oh, ya? Aku nggak peduli orang mau temenan sama aku ataupun nggak. Keuntungan buat aku apa?”
“Kamu bener-bener bikin aku naik darah, ya! Dasar egois!”
“Udah-udah. Jangan diladenin lagi, Lin.”
“Kendalikan emosi kamu.”
“Lepas!” berontaknya keras. “Lebih baik kamu bikin sekolah sendiri aja sana! Biar bisa bebas dan bikin aturan sendiri! Asal kamu tau, nggak semua orang bisa maklumin sifat kamu!”
Lina ditahan oleh teman-temannya untuk tidak menyerang Muthiara. Upaya tidak terjadi keributan lebih lanjut. Sementara Muthiara, memilih pergi.
…
Sejak kejadian itu, dia semakin jauh dengan khalayak, keberadaannya semakin terpojok dan tersembunyi dari keramaian. Orang-orang di sekitarnya dia anggap gempita semu. Namun, perpustakaan masih menjadi tempat favoritnya untuk lari dari mata yang membuatnya terusik.
Raka menghampiri Muthiara yang sedang membaca buku, lalu duduk di bangku depannya. Di menyapa. “Hai, Muth!” Tentu saja, sapaan itu tidak digubris. Laki-laki itu merasa bingung untuk membuka obrolan dengan Muthiara. Lantas, dia menopang dagu dengan tangannya. “Muth, kenapa kamu sering ke perpustakaan? Kenapa jarang ke kantin? Kalaupun ke tempat lain selain perpustakaan, kamu pasti sendirian.”
Tanpa menoleh, lawan bicaranya menjawab, “Nggak suka.”
Merasa bingung, laki-laki itu mengerutkan dahi. “Apa yang bikin kamu nggak suka?”
“Banyak orang, aku nggak suka keramaian.”
“Kalau gitu, bareng aja sama aku kalau mau pergi ke mananya.”
“Nggak, makasih,” tolak Muthiara cepat.
Hening untuk beberapa saat, seketika atmosfer ruangan terasa berat, berakhir pada kecanggungan mengitari keduanya. Walau pada saat jarum jam panjang menunjukkan pada angka sebelas, Raka membuka suara dengan sebuah pertanyaan, “Kamu tau nggak kalau jendela itu kayak pembatas?”
Mendengar itu, Muthiara sedikit mengangkat kepala. “Maksud kamu?” Duduk tegap dengan menutup buku. Tampak tertarik.
“Maksud aku…” Jeda. Dia bangkit berdiri, mengayunkan kaki mendekati jendela. “… jendela itu kayak diri manusia yang memiliki keterbatasan dan manusia mesti sadar adanya batas itu. Ada dunia di dalam batas dan dunia di luar batas. Harusnya kita mau menjangkau ‘dunia di luarnya’ yang jauh lebih luas, yang seolah nggak terbatas. Kayak sekarang, di dalam dunia aku, ada kamu, meja, kursi, dan tas.”
Gadis itu belum mau membuka suara, menunggu kelanjutan ucapan Raka.
“Tapi…” Raka membukakan jendela dengan lebar dan membiarkan embusan angin sekaligus gerimis masuk ke dalam ruangan. “… kalau aku lihat ke luar jendela, aku bisa lihat gedung-gedung sekolah, siswa-siswi yang lewat dan yang lainnya.”
Bangkit dari tempat duduk, Muthiara berjalan menghampiri Raka. Sedikit membuang napas, dia bertanya atas pemikiran laki-laki itu, “Kenapa kamu bisa punya pemikiran kayak gitu?”
“Karena manusia itu makhluk sosial, nggak bisa diem aja di dalam ruangan,” jawab Raka dengan tenang.
Gadis itu melipat kedua tangan di depan dada. “Tapi, manusia juga punya pilihannya sendiri,” timpalnya.
Raka menarik sebelah alis. “Emang kamu nggak mau keluar ruangan buat nikmatin dunia luar?”
“Biar apa?”
“Biar wawasan kamu semakin luas.” Pandangan Raka mengarah keluar ruangan. “Coba kamu lihat ke luar dan nikmati apa yang ada di sana. Mungkin kamu bisa nemuin pengalaman baru dengan berinteraksi sama orang lain, dan bisa jadi sesuatu yang berharga buat di masa yang akan datang.”
“Nggak tertarik.” Dia membuang muka.
“Ada di zona nyaman itu nggak selamanya baik, Muth.”
Muthiara menoleh ke arah jendela, merasakan gerimis mulai masuk ke dalam ruangan. Lantas dia mengulurkan tangan untuk menutup jendela.
“Kenapa ditutup?” tanya Raka heran.
“Gerimis dan anginnya lumayan kenceng.” Dia menjeda ucapannya, lalu melipat kedua tangan sambil menatap jendela. “Kalau diibaratkan, gerimis itu kalau jadi hujan yang deras bisa bikin demam bagi mereka yang hujan-hujanan atau angin yang kencang bisa niup debu ke wajah dan kalau kena mata bisa bikin perih.”
Perkataannya mampu membuat lipatan di dahi laki-laki itu, namun terdengar menarik untuk didengar. “Maksud kamu apa?”
Pandangan gadis itu masih tertuju pada jendela. “Maksud aku, nggak sedikit orang yang ngasih perlakuan dan perkataan yang bikin sakit. Menutup diri bukan berarti egois, tapi kita berhak buat ngelindungin diri kita sendiri.”
“Bikin orang bingung sama sikap kamu, itu bukan egois juga?”
Bola mata itu bergulir ke arah Raka, memberi suatu sirat yang berarti. “Kamu pikir, aku nggak pernah nyoba buat membuka diri dan keluar ruangan buat nikmatin dunia luar, gitu?”
“Hah?”
Muthiara menghela napas sebelum akhirnya mengeluarkan banyak kata, “Aku memilih menutup diri karena sadar sama diri aku sendiri yang susah buat terkoneksi sama kehidupan sosial orang lain. Aku nyapa orang, tapi dicuekin. Aku ngasih pendapat pas berkelompok, tapi nggak digubris. Karena orang-orang sekarang, lebih berkumpul sama orang yang satu frekuensi atau satu golongan. Orang kayak aku, yang apa-apa mau bicara aja banyak pertimbangan dan takut buat memulai, akhirnya tersingkirkan. Mau mendekat sama mereka, nggak ada topik buat dibicarain dan takut dibilang sok asik. Ikut ngobrol, tapi kayak nggak didengerin.”
Terdiam beberapa saat, Raka berusaha mencerna ucapan Muthiara. “Jadi … ini yang bikin kamu menutup diri?”
“Iya.” Jeda. “Karena rasa sakit, aku milih buat menutup diri.”
Yang Raka jabarkan dari dua kata itu—rasa sakit—adalah sesuatu yang sulit disembuhkan, memendam segala macam emosional, menganggap bahwa di dunia ini dirinya hanya sendirian, merasa tidak ada cahaya yang bisa menerangi hidup kelamnya, dan terus-menerus mengingat rasa sakit sehingga sulitnya beranjak dari lingkaran hidup tersebut.
“Tapi kamu juga nggak bisa kayak gini terus.”
Dia mengangkat sebelah sudut bibir. Tertawa miris dalam hati. “Aku nggak sepenting itu buat orang lain, dan orang lain pun nggak sepeduli itu sama aku. Aku semakin sadar, kalau orang yang membosankan itu akan diabaikan. Jadi, buat apa aku membuka diri kalau nggak ada yang peduli? Itu cuman buang-buang waktu, kan?”
“Masih banyak orang yang peduli sama kamu, walaupun kamu nggak tau.”
“Kalimat kamu nggak akan berarti apa-apa buat aku.”
“Jangan terlalu cuek sama sekitar. Suatu saat, kamu akan butuh itu.”
Yang Raka dengar adalah derap sepatu yang menjauh.
…
Ada hal yang Muthiara tak mengerti dengan dirinya sendiri. Mengapa dia bisa berbicara selancang itu kepada Raka?
Seharusnya, dia tidak menceritakan mengapa dia menjadi sosok yang tak banyak kata. Bahkan, tidak ada yang boleh tahu. Ini sebuah kesalahan. Ya, itu merupakan momen mengejutkan baginya yang tak biasa. Begitu mengalirnya percakapan mereka yang dengan saling bijak mengambil giliran bicara tanpa ada jeda yang berkepanjangan. Entah sebuah gaya kecepatan seperti apa yang mendorong energi itu menjadi begitu terkait.
Keesokan harinya, seperti biasa Muthiara datang ke sekolah dengan berjalan kaki sendirian. Lalu, ada seorang gadis yang tengah membawa tiga kardus berukuran sedang dengan langkah gontai. Tiba-tiba, satu kardus teratas jatuh. Dari kejauhan, ada orang yang mendengar dan spontan berlari menghampirinya untuk membantu. Sementara Muthiara memilih menghentikan langkah dan memperhatikan, tanpa memberi bantuan apa-apa. Menyaksikan adegan itu membuat Muthiara kesal dalam hati ketika gadis itu tidak mengucapkan “terima kasih” dan memilih pergi begitu saja. Walau begitu, orang yang membantunya tadi berucap, “Lain kali bawa barangnya pelan-pelan, ya.”
Greget sendiri, deh.
“Halo, Muthi!” Ya, orang yang membantu gadis barusan adalah Raka. Laki-laki itu menghampiri Muthiara dengan menyunggingkan senyum.
“Kenapa kamu bantuin dia?” Dia melangkahkan kaki menuju pekarangan sekolah, begitupun dengan Raka yang berjalan di sampingnya.
“Siapa?” Laki-laki itu merasa bingung. Begitu sadar, dia berkata seraya menjentik jarinya, “Oh, itu! Ya, karena dia butuh bantuan.”
“Kamu membantu tanpa dapat ucapan terima kasih?”
“Menolong itu kan bukan buat dapat balasan.”
Muthiara terdiam sejenak. “Kamu selalu kayak gitu?”
“Kayak gitu gimana?”
“Mementingkan orang lain.”
“Cuman berusaha buat ngerti aja.”
Jawaban yang membuat gadis itu membisu.
Kemudian, Raka bertanya, “Muth, kamu pernah ikutan kegiatan sosial kayak bagi-bagi makanan, nggak?”
Muthiara menoleh dengan dahi berkerut, lalu menggelengkan kepala.
“Keluarga aku lagi berbahagia, karena kakak aku lulus dengan lulusan terbaik dan dapet predikat Magna Cumlaude. Maka dari itu, keluarga aku bikin lima ratus nasi box dan dibagiin ke orang-orang sekitar.”
“Terus?”
“Aku mau ngajakin kamu.” Jeda. “Gimana? Kamu mau?”
“Kapan?”
“Besok.”
Tanpa berpikir panjang, dia berkata, “Oke.”
Jawaban itu membuat Raka terlonjak kaget. “Beneran? Nggak bercanda, kan?”
“Emang kamu pernah lihat aku bercanda?”
“Euuuu…” Raka nyengir. “Ya … nggak sih.” Lalu mengulang pertanyaan, “Eh, tapi beneran kamu mau ikut?”
Muthiara mengangguk. Tentu saja itu menerbitkan senyum di bibir Raka dengan hati yang menghangat.
Keesokan paginya, Muthiara memakai kaos lengan panjang berwarna beige dan rok berwarna putih dengan dipadukan warna kerudung yang senada. Dia menuju rumah Raka menggunakan transportasi umum dan bantuan dari aplikasi Maps. Awalnya, Raka ingin menjemput Muthiara, tapi ditolak. Dia merasa aneh saja bila dijemput laki-laki, ditambah dia mesti menjelaskan tentang Raka kalau ditanya oleh orang tuanya.
“Kalau udah turun dari angkot, cari aja cowok ganteng yang pake kaos putih.” Itu adalah kiriman voice note dari Raka. Mendengarnya saja Muthiara ingin muntah.
Angkot menghentikan lajunya begitu dia memberi instruksi “kiri” sebagai tanda untuk berhenti. Dia turun dari angkot dengan membayar ongkos sebesar empat ribu rupiah. Bola mata gadis itu mengedarkan pandangan hingga mendapatkan Raka berdiri di seberangnya. Laki-laki itu melambaikan tangan.
Begitu tiba, kedatangannya disambut hangat oleh orang tua Raka. Perlakuan tersebut mampu menghangatkan kalbu. Dia mendapat cubitan kecil dari ibunya Raka karena gemas dengan pipinya yang chubby. “Aduuuh! Meni lucu kieu!” Muthiara tersenyum canggung.
Sesudah obrolan kecil yang mereka lakukan, mereka pun melaksanakan kegiatan bagi-bagi kotak nasi kepada orang-orang sekitar. Raka memberikan empat kotak nasi kepada Muthiara dan ia menenteng enam.
“Kalau mau ngasih, senyum ya?” pinta Raka.
“Kenapa?”
“Coba dulu aja, kasih ini ke anak yang di sana.” Raka menunjuk seorang anak yang sedang mengasongkan barang dagangannya. “Kasih ini dan senyum, cobain sensasinya.”
Sedikit ragu, namun gadis itu mengangguk saja, melangkah seperti yang Raka tunjukkan. “Permisi.”
Anak itu menoleh. “Iya, Kak? Kakak butuh bantuan?”
Muthiara terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. “Kamu udah makan belum?”
“Belum, Kak, uangnya kurang dua ribu lagi. Hehe.” Anak itu menampilkan cengiran.
“Sini, ikut aku!" Muthiara menarik pergelangan tangan anak itu dengan lembut, lalu memintanya duduk di bangku. “Makan dulu,” katanya seraya memberikan satu nasi kotak.
“Buat aku, Kak?”
“Iya! Suka, nggak?”
Anak itu membuka kotak nasi sehingga terlihat sepotong ayam dengan beberapa lauk lainnya. “Ayam? Aku suka banget, Kak!”
Kedua sudut bibir yang hampir melengkung ke atas membentuk senyuman malah berganti mengerutkan dahi saat melihat anak laki-laki di depannya malah meletakan kotak nasi di dalam plastik. “Kenapa di plastikin?” tanyanya bingung.
“Buat adik aku, Kak.”
Dia memberikan satu kotak nasi lagi kepadanya. “Ini buat adik kamu.”
“Beneran, Kak?!” ucapnya begitu antusias.
Muthiara menganggukkan kepala. “Di makan, ya.”
Dari interaksi itu, Raka tak dapat melepaskan pandangannya pada Muthiara. Baru kali ini ia melihat perempuan yang sangat cuek terhadap sekitar itu tersenyum dengan begitu tulus. Perlahan, bibirnya ikut melengkung.
“Kak, aku mau jualan lagi. Aku duluan, ya?”
“Iya. Hati-hati, ya!”
“Terima kasih ya, Kak…”
“Muthiara.”
“Oke, makasih ya Kak Muthiara! Semoga kita ketemu di lain hari dan aku bisa balas kebaikan Kakak!”
Setelah kepergiannya, Raka menghampiri Muthiara. “Gimana sensasinya?”
Bukan menjabarkan bagaimana perasaannya, tetapi yang terucap, “Makasih.”
“Kembali kasih,” balas Raka. Melalui bola matanya, laki-laki itu sudah mengerti. “Itu ada ibu-ibu tukang sapu, mau aku atau kamu yang ngasih?”
“Aku!”
Muthiara melangkah penuh semangat dan memberikan sekotak nasi, tak lupa dengan menunjukkan senyuman.
“Sehat selalu, Bu.”
“Terima kasih ya, Nak. Semoga setiap yang kamu lakukan, terdapat keberkahan.”
“Aamiin. Terima kasih, Bu.”
Raka melangkah mendekati gadis itu. “Muth?”
“Hm?” Dia menengok.
“Bahagia itu sederhana. Percaya, nggak?”
Muthiara menaikkan sebelah alis dan memandangnya penuh tanya.
“Dengan kamu sering berbagi, murah senyum, suka bantu orang lain. Semua beban yang kamu punya tuh rasanya kayak lepas. Walaupun kita nggak tau kedepannya bakal gimana, yang penting kamu bisa baik sama orang lain.”
“Tapi, kalau orang itu nggak baik?”
“Baik sama orang itu nggak perlu harus ada timbal baliknya.”
“Kalau … orang itu malah jahatin kita?”
“Kejahatan nggak perlu dibalas, Muth. Asalkan kamu tetap baik sama orang lain, siapapun yang mau jahatin kamu, pasti akan dapat balasan sendiri nantinya. Yang penting kita baik dan tulus aja.”
“Tapi, Raka … perkataan orang itu nggak usah didengerin kan kalau nyakitin?”
“Bukan nggak usah dengerin kata orang, tapi seleksi kata-kata orang. Mungkin perkataan orang lain emang nyakitin, tapi jadikan pelajaran. Karena kita butuh orang lain supaya sadar ada hal yang kita lalaikan di dunia ini.”
“Makasih, ya, Rak,” tutur Muthiara dengan diakhiri senyuman.
Raka tidak dapat menghitung berapa kali Muthiara tersenyum hari ini, yang mampu mengguncang pangkal perasaan batin hingga menyimpan makna yang tak dapat dia eja.
“Ini termasuk alasan kamu jutek juga, ya?”
“Maksud kamu?” tanyanya bingung.
“Muka jutek itu buat nutupin senyum kamu yang manis, ya?” Karena senyumnya seperti sejuta magnet yang memikat hati.
Kini, persepsi mereka tentang dunia berubah saat mengenal satu sama lain. Jendela tak selamanya mesti terbuka lebar, karena orang-orang bisa meraup banyak informasi dan pemahaman yang menyebabkan perubahan pada pola pikir dan sikap seseorang, namun tak sedikit orang yang lupa menyaring ideologi dari luar dengan baik. Juga, tidak seharusnya menutup rapat-rapat jendela, karena dapat menciptakan sikap yang apatis. Seperti yang dikatakan Raka waktu itu bahwa jendela adalah pembatas, maka sekarang, pembatas itu bernama self control. Maksudnya, terdapat kesadaran dalam mengontrol diri sendiri dan memberi batas terhadap segala macam hal. Penyekat diri dari segala hingar-bingar. Pembatas hati di antara damai dan liar.
Setiap orang bisa mengetahui segala macam pengalaman dan pemikiran dari luar. Namun, mereka bisa menentukan, seberapa banyak air yang ingin disentuh dan angin yang dirasakan. Sebab, tidak semua hal di dunia ini mesti dirasakan dan sedikit menutup diri itu bukan hal buruk, tetapi tidak dengan melupakan hal-hal di sekitar. Kadang, cukup tahu saja sudah cukup.
Ketika mencoba untuk membuka diri, tapi tak mendapat timbal balik yang tidak sesuai harapan, tak mengapa. Ketulusan tak harus dibalas oleh manusia yang sama, kan? Kita memang tak bisa mengontrol omongan orang lain, tapi minimal tidak menjadi bagian dari mereka. Sedikit membuka jendela, bukanlah hal yang buruk. Melatih diri untuk menyatu dengan lingkungan sosial, tapi tetap punya batasan sendiri. Sebab, ego yang tinggi membuat manusia lupa cara berkomunikasi yang baik.
...
Komentar
Posting Komentar